Penggemar Inggris Rusuh usai Final Euro 2024, Hal ini Sejarah Hooligan
Jakarta – Terwujud keributan antara suporter usai final Euro 2024. Dilansir dari The Guardian, keributan juga terjadi antara sesama pendukung Inggris usai The Three Lions dikalahkan Spanyol. Kekerasan yang disebutkan identik dengan perilaku hooligan.
Fanatisme hooligan Inggris terhadap klub sepakbola atau negara mereka memanglah tinggi. Hooliganisme memang benar identik dengan sisi kelam sepak bola. Tradisi hooliganisme terus mengakar di tempat pencinta sepakbola Inggris Raya. Bagaimana pergerakan itu terbentuk?
Dilansir dari laman Politics, hooliganisme adalah istilah yang digunakan secara luas untuk menggambarkan perilaku tidak ada tertib, agresif, serta seringkali kekerasan yang diadakan oleh penonton dalam acara olahraga. Di Inggris, hooliganisme hampir secara eksklusif terjadi pada sepak bola.
Perilaku tak tertib sudah pernah umum di dalam kalangan pendukung sepak bola sejak olahraga ini lahir, tetapi baru sejak 1960-an perilaku ini mulai dipandang sebagai hambatan serius.
Pada 1980-an, hooliganisme menjadi sangat terkait dengan pendukung sepak bola Inggris. Hal ini terjadi setelahnya rangkaian kerusuhan besar pada pada lalu luar negeri, yang mengakibatkan sebagian kematian. Upaya keras oleh pemerintah kemudian polisi sejak pada waktu itu telah dilakukan banyak mengempiskan skala hooliganisme.
Namun, sebenarnya akar hooliganisme telah ada sejak era Victoria. Dikutip dari laman New Historian, pada 1880-an, istilah “hooligan” mulai muncul di dalam media Inggris untuk menggambarkan sekelompok pemuda kelas pekerja yang tersebut terlibat pada kerusuhan juga vandalisme. Istilah ini diyakini berasal dari nama keluarga Patrick Hooligan, yang tersebut terkenal dengan perkelahian juga kerusuhan di area London.
Pada awal abad ke-20, hooliganisme menjadi semakin marak dalam Inggris. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, seperti meningkatnya popularitas sepak bola, meningkatnya ketegangan antar kelas sosial, dan juga efek dari Perang Bumi I. Para hooligan banyak kali menggunakan pertandingan sepak bola sebagai wadah untuk melampiaskan kemarahan juga frustrasi mereka.
Pada 1960-an kemudian 1970-an, hooliganisme mencapai puncaknya di dalam Inggris. Kerusuhan kemudian perkelahian antar suporter menjadi semakin brutal, juga bahkan melibatkan pengaplikasian senjata. Hal ini menyebabkan perasaan khawatir besar bagi pemerintah dan juga otoritas sepak bola.
Sebagai respons terhadap permasalahan hooliganisme, berbagai langkah mulai diambil, seperti penerapan undang-undang yang lebih tinggi ketat, peningkatan pengamanan di dalam stadion, serta upaya untuk meningkatkan hubungan antara klub serta suporter.
Pada 1985, tragedi Hillsborough terjadi, di area mana 96 orang suporter Liverpool meninggal dunia akibat terjepit pada kerumunan. Tragedi ini menjadi titik balik pada upaya memerangi hooliganisme di area Inggris.
Pemerintah Inggris menerapkan langkah-langkah yang tambahan tegas, seperti pembentukan Football Hooliganism Intelligence Unit (FHIU) lalu penerapan kartu identitas suporter. Klub-klub sepak bola juga didorong untuk meningkatkan keamanan di tempat stadion juga bekerja sejenis dengan otoritas untuk mengidentifikasi dan juga menindak para hooligan.
Upaya-upaya yang dimaksud membuahkan hasil. Pada 1990-an serta 2000-an, jumlah agregat perkara hooliganisme dalam Inggris merosot secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penerapan undang-undang yang lebih banyak ketat, peningkatan pengamanan di area stadion, juga inovasi budaya di dalam kalangan suporter.
Meskipun hooligan masih menjadi permasalahan dalam beberapa negara, Inggris sudah pernah berhasil mengendalikannya dengan cukup baik. Pengalaman Inggris di memerangi hooliganisme dapat menjadi pelajaran bagi negara lain yang digunakan ingin mengatasi kesulitan serupa.